PPK atau PPTK: Masalah yang Tidak Kunjung Selesai?

Ringkasan dari artikel ini juga bisa dilihat pada link video berikut.

Baru-baru ini viral beredar di sejumlah Group Whatsapp Ahli Pengadaan, sebuah surat jawaban atas nama Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah yang ditandatangani oleh Sekretaris Ditjen terkait Penjelasan Pejabat Pembuat Komitmen dalam Pengelolaan APBD. Surat tersebut ditujukan kepada Gubernur Maluku Utara u.p Sekretaris Daerah.

Surat tersebut dengan tegas dan jelas menegaskan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 77 Tahun 2020 adalah PA/KPA karena kedua subyek/entitas tersebut yang memiliki tugas dalam melakukan ikatan perjanjian dengan pihak ketiga dalam pengadaan barang dan jasa terkait dengan pengelolaan APBD.

Hadirnya surat penegasan tersebut memunculkan kekhawatiran “gelombang balik” pengunduran diri massal dari sejumlah Pejabat Pembuat Komitmen non PA/KPA, yang kebanyakan di antaranya adalah Eselon IV dan Staf Pelaksana yang telah ditunjuk dan memproses pengadaan barang/jasa, mulai dari penginputan Rencana Umum Pengadaan (RUP), sampai dengan persiapan pengadaan, bahkan ada yang sudah melakukan perikatan/perjanjian.

Masalah yang Tidak Pernah Selesai?

Masalah PPK dan PPTK ini sebenarnya sudah berlangsung sejak lama dimana dalam Perpres 54/2010, kemudian Perpres 16/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa tidak ditemukan terminologi PPTK sebagaimana diatur dalam PP 58/2005 dengan aturan derivatifnya Permendagri (PMDN) 13/2006 sampai dengan perubahan terakhir PMDN 59/2007 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Namun pada PMDN 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas PMDN 13/2016, terminologi Pejabat Pembuat Komitmen muncul, dimana klausanya tidak berbeda jauh dengan yang ada pada PMDN 77/2020.

Hadirnya PP 12/2019 dan aturan derivatifnya PMDN 77/2020 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang disambut dengan keluarnya Perpres 12/2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa sepertinya dapat menjembatani permasalahan terkait PPK dan PPTK dalam hubungannya dengan pengadaan barang/jasa dan pengelolaan keuangan daerah. Namun, kemunculan terminologi PPK dan PPTK pada dua aturan terbaru tersebut justru memunculkan perdebatan baru yang tidak kunjung selesai.

Dari hasil penelusuran saya, frekuensi munculnya terminologi “Pejabat Pembuat Komitmen” dan “PPK” pada Perpres 12/2021 ditemukan sebanyak 24 kali, sedangkan pada PMDN 77/2020, terminologi Pejabat Pembuat Komitmen muncul sebanyak 6 kali. Pada Permendagri 77/2020 juga terdapat terminologi “PPK” SKPD yang frekuensi kemunculannya sebanyak 82 kali, tetapi perlu diketahui bahwa PPK-SKPD yang dimaksud pada PMDN 77/2020 merujuk pada subyek yang sama sekali berbeda dan tentunya memiliki tugas yang berbeda dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Perpres 12/2021. PPK-SKPD pada PMDN 77/2020 adalah “Pejabat Penatausahaan Keuangan” SKPD yang bertugas melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada SKPD dan biasanya dijabat oleh Pejabat Struktural (umumnya pejabat Eselon III atau eselon IV) yang berada pada Sekretariat Dinas/Badan atau Bagian Tata Usaha pada Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Organisasi Perangkat Daerah. Terminologi yang disebut terakhir berada diluar batasan artikel ini.

Sedangkan terminologi Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan pada Perpres 12/2021 hanya disebut sebanyak 4 kali, sebaliknya pada PMDN 77/2020 disebut sebanyak 69 kali. Untuk dapat melihat tingkat eselon dan jabatan dalam hubungannya dengan pengelolaan keuangan daerah dapat dilihat pada dua tabel di bawah ini.

Pengelola Keuangan Daerah di Pemerintah Provinsi (Source: Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemdagri)
Pengelola Keuangan Daerah di Pemerintah Kabupaten/Kota (Source: Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemdagri)

Kenapa masalah PPK pada pengelolaan APBD ini tidak pernah selesai? Saya kira tidak perlu orang yang berlatar belakang hukum untuk melihat kontradiksi terminologi berikut ketidakjelasan tugas dan kewenangan yang diberikan. Ini bukan berarti saya mengesampingkan kualifikasi kesarjanaan seseorang di bidang hukum untuk melihat ini, tetapi saya ingin menunjukan bahwa orang-orang yang berlatar belakang non-hukum pun akan dengan sangat mudah melihat ketidaksinkronan antara dua perangkat aturan tersebut yang saya bagi kedalam dua permasalahan utama, yaitu pada aspek regulatory framework (kerangka regulasi ) dan pada aspek penerapan teknis di daerah.

Aspek Regulatory Framework (Kerangka Regulasi)

Pada aspek national framework (regulasi nasional). Ada kurang lebih tiga hal menarik yang saya identifikasi. Pertama, dilihat dari perspektif hirarki peraturan perundang-undangan. PMDN 77/2020 meskipun kedudukannya lebih rendah dari Perpres 12/2021, tetapi sebenarnya berada di bawah dan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sedangkan Perpres 12/2021 pada bagian konsideransnya merujuk pada UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Dengan demikian, keberatan sebagaian orang yang mempertanyakan kedudukan PMDN yang lebih rendah dari Perpres, saya kira tidak beralasan karena meskipun secara hirarki peraturan kedudukannya lebih rendah, tetapi PMDN 77/2020 memiliki “cantolan” Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang di atasnya. Kedua produk, baik undang-undang maupun peraturan pemerintah tentu melewati pembahasan dan harus mendapat persetujuan baik lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif.

Hal ini akan jadi bahasan yang menarik apabila kedudukan keduanya dilihat berdasarkan asas hukum lex superirori dan lex specialis. Karena klaim-klaim seperti Perpres lebih tinggi dari PMDN atau sebaliknya PMDN merupakan kekhususan dalam hal pengelolaan keuangan daerah adalah yang sering digunakan oleh sebagian besar, jika tidak ingin dikatakan semua, praktisi dalam mempertentangkan kedua aturan dimaksud. Maka pada titik ini, pendapat ahli hukum tata negara diperlukan untuk melihat permasalahan ini dari perspektif akademisi. Sebagai orang yang tidak memiliki kualifikasi kesarjanaan di bidang hukum tata negara, saya hanya akan menganalisa sejumlah aspek penting berkaitan apa dan siapa itu PPK dan PPTK, berikut tugas dan kewenangan keduanya.

Apa dan Siapa itu PPK dan PPTK

Kedua, pada level definisi terminologi itu sendiri. Perpres 12/2021 mendefinisikan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sebagai “Pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara/anggaran belanja daerah.” Sedangkan PMDN 77/2020 tidak memberikan batasan definisi tentang apa itu PPK, hanya menyebut siapa itu PPK, yaitu PA dan/atau KPA.

Sementara itu, baik Perpres 12/2021 dan PMDN 77/2020 sama-sama sepakat tentang apa dan siapa itu PPTK, meskipun definisi PPTK sendiri jika kita telusuri dengan cermat tidak ditemukan pada PMDN 77/2020 tetapi pada PP 12/2019, yaitu pejabat pada Unit SKPD yang melaksanakan 1 (satu) atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya. PPTK pada struktur pengelolaan keuangan daerah adalah pejabat struktural (umumnya eselon IV pada Dinas/Badan, atau eselon III di Sekretariat Daerah) atau pejabat fungsional umum yang kriterianya ditetapkan oleh Kepala Daerah.

Pada titik ini, kita melihat bahwa terdapat perbedaan yang mencolok tentang apa dan siapa itu PPK pada Perpres dan PMDN. Jika pada Perpres, PPK “dapat” merupakan subyek/entitas terpisah, yang merupakan salah satu Pelaku Pengadaan di antara pelaku-pelaku lainnya, yang diberikan kewenangan oleh PA/KPA, sedangkan pada PMDN, PPK by nature melekat pada PA/KPA.

Ketiga, pada level kriteria batasan tugas dan kewenangannya. PPK yang diatur dalam Pasal 11 Perpres 12/2021 memilik tugas yang sangat banyak. Terdapat 16 (enam belas) tugas PPK mulai dari menyusun perencanaan pengadaan, menetapkan Spesifikasi Teknis, KAK, HPS, rancangan kontrak, sampai dengan SPPBJ. Selain tugas tersebut, PPK juga masih diserahi 2 (dua) tugas tambahan pelimpahan kewenangan PA/KPA sebagaimana tertera pada pasal 11 ayat 2 yang meliputi:

  1. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja; dan
  2. mengadakan dan menetapkan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran belanja yang telah ditetapkan.

Pada Perpres 12/2021 disebut pelimpahan kewenangan merupakan bagian dari tugas. Hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan ikutan. Apakah terminologi tugas dan kewenangan dapat dipertukarkan (can be used interchangeably) dan dengan demikian keduanya merujuk pada definisi dan kriteria yang sama, atau apakah tugas dan kewenangan mempunyai definisi dan kriteria masing-masing. Mana yang ada lebih dulu, atau mana yang kedudukannya lebih tinggi: kewenangan atau tugas?

Berdasarkan hasil penelusuran pada UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan PP Nomor 12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, istilah kewenangan dan tugas dapat dipertukarkan (can be used interchangeably), namun yang menjadi masalah kemudian adalah sampai sejauhmana, atau lebih tepatnya pada level jabatan mana kewenangan/tugas pada pasal 11 ayat 2, khususnya yang berkaitan dengan pengeluaran anggaran belanja dan perjanjian dengan pihak lain diberikan dan/atau atau didelegasikan?

Dalam hal pengelolaan APBN, standar kompetensi kerja dan kriteria batasan tugas PPK sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58 Tahun 2018 dan Petunjuk Teknis Pengelolaan APBN yang dikeluarkan Kementerian Keuangan ditemukan bahwa sebagian besar tugas PPK pengelola dana APBN beririsan dengan tugas PPK yang diatur dalam Perpres. Dalam Juknis tersebut, PPK juga dapat berdiri sendiri sebagai subyek/entitas terpisah dari PA/KPA dan dapat diserahi/dilimpahi tugas kewenangan dari KPA. Dalam Juknis dimaksud, dapat pula dimungkinkan perangkapan tugas PPK oleh KPA.

Hal ini sama sekali berbeda dengan pengelolaan APBD dimana PPK menurut PMDN 77/2020 adalah subyek/entitas yang sama, tidak terpisah dan melekat pada jabatan PA/KPA. Dengan demikian, tugas dan kewenangan yang melekat padanya tidak dapat didelegasikan kepada subyek/entitas lain di bawahnya.

Kewenangan demikian yang kita temu-kenali sebagai kewenangan atribusi, yang tidak dapat didelegasikan kecuali diatur dalam UUD 45 dan/atau UU (UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan). Mengapa dikategorikan sebagai kewenangan atribusi? Karena kewenangan melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran belanja dan mengadakan perikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran belanja diberikan oleh Undang-Undang, yakni UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, terutama pada pasal 6 ayat 2 huruf b dan Pasal 17 ayat 2. Dengan demikian, kedua tugas/kewenangan berhenti pada PA/KPA, tidak dapat didelegasikan ke pejabat dibawahnya.

Meskipun Perpres 12/2021 menawarkan jalan tengah dengan menyisipkan klausula (ayat tambahan) yang menyebutkan:

“Dalam hal tidak ada penetapan PPK pada Pengadaan Barang/Jasa yang menggunakan anggaran belanja dari APBD, PA/KPA menugaskan PPTK untuk melaksanakan tugas PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf m dan PPTK sebagaimana dimaksud wajib memenuhi persyaratan kompetensi PPK.” (Pasal 11 ayat 3 dan 4).

Namun upaya menjembatani keberadaan PPK dengan menugaskan PPTK untuk melaksanakan tugas PPK justru menambah keruwetan baru karena klausa “dalam hal tidak ada penetapan PPK” adalah klausa yang “self refuting” (menolak dirinya sendiri) karena mengasumsikan PPK adalah subyek/entitas terpisah. Dengan kata lain, tanpa menetapkan PPK pun, PA/KPA dengan sendirinya bertugas sebagai PPK, tidak perlu PA/KPA menunjuk atau menetapkan dirinya sendiri sebagai PPK karena kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang given (diberikan undang-undang) dan melekat (atributif) pada diri PA/KPA. Oleh karena itu, lebih tidak dibenarkan lagi apabila PA/KPA menunjuk orang lain menjalankan tugas dan kewenangan yang tidak dapat didelegasikan tersebut.

Selain itu, PPTK sendiri memiliki batasan tugasnya sendiri. Ada sekurang-kurangnya 3 (tiga) tugas besar dan 6 sub-tugas yang berasal dari 2 tugas besar PPTK berdasarkan PMDN 77/2020. Bisa dibayangkan bagaimana sibuknya seorang PPTK yang harus menjalankan tugasnya bersamaan dengan kurang lebih 18 (delapan belas) tugas sebagai PPK dengan risiko yang besar.

Selaras dengan argumentasi dan aturan-aturan sebelumnya, terdapat pula Perpres 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional yang jika ditelusuri hanya mengenal terminologi PPTK, dan pada lampiran Perpres tersebut PPTK diberikan honorarium Orang Bulan (OB), bukan kepada PPK. Untuk lebih jelasnya anda dapat melihat pada Perpres dimaksud.

Dengan demikian keberatan yang menyatakan bahwa karena klausul PPK tidak diatur dalam PMDN 77/2020 analog/setara dengan Pejabat Pengadaan pun tidak perlu ada karena juga tidak ada klausul yang mengatur Pejabat Pengadaan dalam PMDN yang sama. Akan tetapi, hal yang dikemukakan tersebut sama sekali tidak beralasan karena Perpres 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional mengatur baik terkait PPTK maupun Pejabat Pengadaan, namun tidak ada satu klausul pun yang menyebut PPK.

Aspek Penerapan Teknis di Daerah

Berbeda dengan kondisi ideal yang diatur dalam UU, PP, Perpres dan PMDN terkait hal-hal yang berhubungan dengan pengelolaan/penatausahaan keuangan daerah dan pengadaan barang/jasa, secara faktual banyak PPK di daerah yang selama ini dijabat oleh Pejabat Eselon IV (Pengawas) maupun Staf/Fungsional Umum.

Dengan adanya PMDN 77/2020 dikhawatirkan akan memicu “gelombang balik” pengunduran diri massal para PPK non PA/KPA. Hal ini tentunya dapat mengakibatkan terganggunya percepatan pembangunan apabila proses transisi pengunduran diri tersebut tidak berjalan lancar dan PA/KPA menolak untuk melaksanakan tugas dan kewenangan sebagai PPK, apalagi ada sejumlah kegiatan yang proses persiapan pengadaannya sudah berlangsung di awal tahun 2021, bahkan ada yang sudah dilaksanakan tender/seleksi dini di akhir tahun 2020.

Banyak pertanyaan yang bermunculan, bagaimana dengan dokumen persiapan pengadaan seperti spesifikasi teknis, KAK, rancangan kontrak dan HPS yang telah ditetapkan dan diproses pengadaanya, atau bahkan kontrak yang telah terlanjur ditandatangani karena bagaimanapun dalam hirarki Kontrak Pengadaan Barang/Jasa, dokumen seperti Spesfikasi Teknis, KAK, HPS atau RAB adalah produk/keluaran dari PPK yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Dokumen Kontrak.

Sebuah Tawaran Solusi

Berkaca dari permasalahan di atas, maka kedepan PA/KPA dengan sendirinya adalah PPK pada Satuan Kerja Perangkat Daerah dengan maupun tanpa Penetapan PPK. Adapun PPTK atau Staf/Fungsional Umum yang memiliki kompetensi di bidang pengadaan barang/jasa yang ditunjuk membantu PPK (PA/KPA) pada pengelolaan APBD, hanya bertugas dalam menyusun dokumen perencanaan, dokumen persiapan pengadaan dan dokumen kontrak, bukan menetapkan dokumen-dokumen tersebut. Frasa menyusun dan frasa menetapkan merupakan dua hal yang sama sekali berbeda. Pihak yang “menyusun” dokumen bisa saja keliru atau salah dalam menyusun syarat-syarat, namun pihak yang “menetapkan” harus mereviu kembali syarat-syarat tersebut, memperbaikinya sebelum melakukan penandatanganan dan/atau penetapan karena darinya akan dimintai tanggung jawab dan tanggung gugat sebagaimana yang diberikan Undang-Undang.

Akhirnya, sudah seharusnya yang menjadi PPK adalah PA/KPA karena selain kewenangan yang diberikan Undang-Undang, PA/KPA memiliki baik power dan resources yang besar untuk didayagunakan, dibandingkan pejabat setingkat eselon IV, apalagi staf yang pastinya akan banyak mendapat tekanan maupun hambatan teknis dan psikologis karena terbatasnya power dan resources yang dimiliki.

Advertisement

Penyedia Digugurkan Karena Peralatan Dijaminkan di Bank

Jam tangan saya sudah menunjukan kira-kira pukul 16.00 sore, “saatnya bergegas pulang kantor” pikirku. Namun, tiba-tiba pimpinan memanggil saya, memohon saya untuk menunggu sebentar karena ada seorang penyedia yang meneleponnya dan meminta waktu untuk berkonsultasi.

Kami pun menunggu si penyedia, sebut saja namanya “Andi” dari Perusahaan “Andalan”. Nama disamarkan tanpa bermaksud mengurangi kebenaran peristiwa yang dinarasikan. Si Andi pun kemudian kami ajak ke ruang konsultasi. Si Andi begitu ia disapa memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud tujuannya berkonsultasi.

Demi keringkasan, masalah yang diutarakannya persis sebagaimana judul artikel di atas. Ya, Pak Andi keberatan karena Pokja Pemilihan pada salah satu UKPBJ mengundangnya jauh-jauh untuk klarifikasi teknis terkait bukti kepemilikan dan/atau sewa peralatan hanya untuk kemudian diberitahukan bahwa Ia tidak dapat menunjukan bukti kepemilikan atau sewa alat yang dipunyainya.

“Mereka minta saya tandatangan berita acara, tapi saya menolaknya pak” kata Andi.

“Masak saya diberitahu kalau saya tidak mampu menunjukan bukti kepemilikan asli hanya karena saya menunjukan salinan yang telah dilegalisir bank dan alat berat saya sedang diagunkan di bank. Dimana-mana di masa covid seperti ini ya wajar lah karena ada juga proyek yang saya kerjakan dengan PPK yang sama belum juga dibayar karena efek refocussing dan relaksasi dan salah satu cara pengusaha survive ya dengan berutang” lanjutnya dengan nada suara yang meninggi.

Pak Andi juga menunjukan bukti salinan copian surat kepemilikan dan Surat Pernyataan dari Bank Pemerintah yang kurang lebih menyatakan bahwa alat beratnya tersebut dijadikan jaminan. Ia kemudian mengatakan “Kalau mereka mau fair harusnya mereka klarifikasi ke Bank, tanyakan bagaimana rekam jejak saya dalam mencicil utang, apakah saya pernah terlambat bayar dan tersangkut kredit macet”. tambahnya.

Ketika pak Andi selesai bicara, pimpinan saya kemudian memberikan saya kesempatan bicara. “Pak Andi, mohon maaf saya disclaimer dulu ya bahwa pendapat saya ini pendapat pribadi dan karena saya tidak punya salinan dokumen pemilihan dan tidak terlibat langsung dengan peristiwa ini maka pendapat saya bisa jadi hanya didasarkan pada asumsi-asumsi berkenaan dengan informasi yang pak berikan”, kata saya mencoba menenangkannya.

“Ya, silahkan pak” Pak Andi menimpali.

“Begini pak Andi, saya ajukan pertanyaan klarifikasi dulu ya”

“Siap pak” balasnya.

“Di dokumen pemilihan biasanya disyaratkan bukti kepemilikan atau sewa, menurut bapak alat/barang bapak ini milik siapa”, tanya saya.

“Setengah milik bank setengah lagi milik saya karena alatnya memang saya gunakan” jawabnya dengan tegas.

“Oke, pak. masalah pak Andi ini unik karena sepengetahuan saya, di Dokumen Pemilihan belum pernah ada klausul yang mengatur terkait peralatan yang dijaminkan, yang ada hanya bukti kepemilikan atau bukti sewa yang disertakan dengan bukti kepemilikan dari si pemberi sewa”.

“Namun, hanya karena klausul ini tidak diatur bukan berarti dilarang ya pak Andi, kecuali ada klausul yang secara univokal dan tegas melarang peralatan yang telah dijaminkan ke institusi pembiayaan untuk ditawarkan dalam tender”, lanjut saya.

Masih menurut saya, “sebenarnya tidak jadi masalah karena fisik peralatan dibawah penguasaan Pak Andi, meskipun mungkin secara hukum, bukti kepemilikan asli peralatan bapak sudah diserahkan ke Bank dan karenanya hak kepemilikan sudah beralih ke Bank, tetapi karena kepercayaan Bank, bapak dapat meminjam pakai kembali peralatan yang sudah pak Andi agunkan sampai bapak melunasi utang bapak dan meng-klaim kembali hak milik bapak”, tambah saya.

Pada posisi demikian, maka pinjam pakai seperti contoh kasus Pak Andi harusnya diperlakukan setara dengan perjanjian sewa. Meskipun terdapat sedikit perbedaan di antara keduanya dimana dalam hal sewa, kita menyewa peralatan orang lain, sedangkan pada peristiwa di atas yang kita pinjam pakai adalah peralatan sendiri yang dipercayakan oleh institusi pembiayaan untuk kita gunakan kembali agar kita dapat melanjutkan kegiatan produktif sehingga keuntungan dari kegiatan produktif tadi bisa digunakan untuk melunasi utang dan pada akhirnya mengambil kembali barang/alat yang sudah kita jaminkan.

So, saya menyampaikan, “yang bapak lakukan justru sudah benar, malah jadi salah jika karena dipaksa harus menunjukan bukti kepemilikan asli, entah BPKB atau invoice pembelian kendaraan, kemudian bapak menunjukan invoice palsu, dan ujung-ujungnya bapak bisa dituntut melakukan pemalsuan dokumen”.

Sambil berkelakar saya pun mengatakan, “Pokjanya terlalu bersemangat itu pak, sampai-sampai kutu dan telur kutu pun dicari-cari”.

“Ya, pak, itu orang tidak benar sama sekali, sangat mengada-ada” timpal pak Andi.

Masih ada hal lain yang dikonsultasikan pak Andi, tapi berhubung karena artikel ini dibatasi terkait permasalahan sesuai judul di atas, maka saya kira tidak relevan membicarakannya di sini.

Akhirnya, tanpa kami sadari sore telah berganti malam, pak Andi pun pamit pulang, tak lupa ia berterima kasih karena kami sudah mau mendengar keluh kesahnya dan kami pun berterima kasih karena telah mendapat sharing pengalaman unik yang dibagikannya.

Rangkuman dan Matriks Perpres 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Perpres 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah baru saja diundangkan pada tanggal 2 Februari 2021. Ada beberapa pasal yang mengalami perubahan, penghapusan maupun penambahan.

Berdasarkan Penjelasan Kepala LKPP-RI pada kegiatan sosialisasi Perpres 12 Tahun 2018 pada tanggal 24 Februari 2021, dapat dirangkum sejumlah hal penting yang melatarbelakangi dikeluarkannya perpres dimaksud, di antaranya:

  1. Sebagai tindak lanjut atas dikeluarkannya Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya terkait kemudahan dan perlindungan Usaha Mikro Kecil dan Koperasi dan kemudahan berusaha;
  2. Kondisi eksisting rata-rata pemenuhan jabatan fungsional pengelola pengadaan barang/jasa pada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang masih jauh di bawah target; dan
  3. Profil Kelembagaan UKPBJ menuju pada tingkat kematangan/maturitas level 3 yang masih jauh dari target, bahkan ada UKPBJ yang masih bersifat ad-hoc

Dari sejumlah perubahan tersebut, beberapa poin penting yang perlu diperhatikan antara lain:

Usaha Mikro Kecil dan Koperasi

  1. K/L/PD wajib mengalokasikan paling sedikit 40% dari nilai anggaran belanja barang/jasa untuk penggunaan produk usaha kecil serta koperasi dari hasil produksi dalam negeri;
  2. Jika sebelumnya diatur bahwa segmentasi usaha kecil dapat mengerjakan paket sampai dengan Rp 2,5 Milyar, maka pada Perpres ini sampai dengan Rp 15 Milyar rupiah yang diperuntukan bagi usaha kecil dan/atau koperasi.

Produk Dalam Negeri

  1. Kewajiban Penggunaan produk dalam negeri dilakukan apabila terdapat produk dalam negeri yang memiliki penjumlahan nilai TKDN ditambah nilai BMP paling sedikit 40%.
  2. Kewajiban tersebut dilakukan pada tahap perencanaan pengadaan, persiapan pengadaan, atau pemilihan penyedia dan dicantumkan dalam RUP, spesifikasi teknis/KAK dan Dokumen Pemilihan.

SDM dan Kelembagaan

Sumber Daya Manusia Pengadaan Barang/Jasa terdiri dari:

  1. Sumber Daya Pengelola Fungsi Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi Pengelola Pengadaan Barang/Jasa (jabfung pengelola PBJ) dan personel lainnya (non-jabfung). Personel lainnya terdiri dari ASN (PNS dan PPPK), prajurit TNI dan anggota Polri;
  2. Sumber Daya Perancang dan Sistem Pengadaan Barang/Jasa: sumber daya manusia yang melaksanakan perancangan kebijakan dan sistem Pengadaan Barang/Jasa.
  3. Sumber Daya Pendukung Ekosistem Pengadaan Barang/Jasa: sumber daya manusia yang terdiri dari berbagai keahlian tertentu dalam mendukung pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.

Terkait kelembagaan, salah satu poin penting penting yang ditambahkan adalah Kepala UKPBJ wajib memenuhi standar kompetensi jabatan yang mencakup kompetensi teknis di bidang pengadaan barang/jasa.

Pelaku Pengadaan

Pada Perpres 12/2018, Pj/PPHP dihapus sehingga semua pasal yang mengatur penetapan, tugas dan kewenangan Pj/PPHP dengan sendirinya dihapus.

Jasa Konstruksi

Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Konsultan Konstruksi akan diatur oleh LKPP. Sebelumnya diatur oleh Permen PUPR, terakhir dengan Permen PUPR No. 14 Tahun 2020.

Pembinaan Penyedia

Kriteria penanganan sanksi daftar hitam dibagi menjadi dua bagian, pertama, terkait sanksi etik karena menyampaikan dokumen/keterangan palsu/tidak benar, terindikasi persekongkolan dan terindakasi KKN. Kedua, terkait sanksi non etik karena mengundurkan diri saat proses pemilihan, mengundurkan diri sebelum penandatanganan kontrak, tidak melaksanakan kontrak, tidak menyelesaikan pekerjaan, tidak menyelesaikan kewajiban pada masa pemeliharaan.

E-Purchasing dan Katalog Elektronik

Ada dua hal menarik yang diatur terkait hal ini, pertama, pembelian elektronik atau e-purchasing tidak saja melalui katalog elektronik tapi juga melalui toko daring, kedua terjadi perluasan fungsi dari sebelumnya hanya berfokus pada pemilihan produk menjadi pengelolaan katalog elektronik yang dilaksanakan oleh K/L/PD.

Untuk lebih detailnya dapat dilihat pada matriks perbedaan Perpres 12 Tahun 2021 dengan Perpres 16 Tahun 2018 pada link dibawah ini.

Ormas dan Pokmas Pelaksana Swakelola

Hai Sobat Pengadaan, kali ini kita akan membahas tentang Ormas dan Pokmas dalam Swakelola.

Mengapa bahasan ini penting, karena dalam sejumlah pelaksanaan swakelola, masih banyak ditemui Ormas dan Pokmas Pelaksana swakelola yang tidak memenuhi kriteria, sebagaimana disebutkan dalam PerLKPP Nomor 8 tahun 2018 tentang Swakelola.

Syarat Ormas dalam Swakelola Tipe III adalah:

  1. Ormas yang berbadan hukum yayasan atau Ormas berbadan hukum perkumpulan, yang telah mendapatkan pengesahan badan hukum dari Kementerian yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
  2. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir, dipenuhi dengan penyerahan SPT Tahunan.
  3. Memiliki struktur organisasi atau pengurus.
  4. Memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
  5. Mempunyai bidang kegiatan yang berhubungan dengan Barang atau Jasa yang diadakan, sesuai dengan AD atau ART dan atau Pengesahan Ormas.
  6. Mempunyai kemampuan manajerial dan pengalaman teknis menyediakan atau mengerjakan barang/jasa sejenis yang diswakelolakan dalam kurun waktu selama tiga tahun terakhir, baik di dalam negeri dan/atau luar negeri sebagai pelaksana secara sendiri dan/atau bekerjasama.
  7. Memiliki neraca keuangan yang telah diaudit selama tiga tahun terakhir sesuai peraturan perundang-undangan.
  8. Mempunyai atau menguasai kantor dengan alamat yang benar, tetap, dan jelas berupa milik sendiri atau sewa; dan
  9. Dalam hal Ormas akan melakukan kemitraan, harus mempunyai perjanjian kerja sama kemitraan yang memuat tanggung jawab masing-masing yang mewakili kemitraan tersebut.

Catatan: Dalam UU No. 17 juga diatur tentang Ormas yang tidak berbadan hukum. Ormas ini bukan subyek pelaksana swakelola yang diatur dalam Per LKPP No. 8/2018. Jika ormas yang berbadan hukum mendapat pengesahan badan hukum oleh Kementerian terkait, sebaliknya ormas yang berbadan hukum hanya diberikan surat keterangan terdaftar oleh Pejabat yang berwenang.

Syarat Pokmas dalam Swakelola Tipe IV meliputi:

  1. Memiliki Surat Pengukuhan yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
  2. Memiliki struktur organisasi/pengurus.
  3. Memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
  4. Memiliki sekretariat dengan alamat yang benar dan jelas di lokasi tempat pelaksanaan kegiatan;
  5. Memiliki kemampuan teknis untuk menyediakan atau mengerjakan barang/jasa sejenis yang diswakelolakan.

Berangkat dari kriteria tersebut, yang perlu di highlight adalah bahwa Ormas dan Pokmas Pelaksana swakelola adalah Ormas dan Pokmas yang memiliki core business, pengalaman dan kemampuan teknis yang terkait dengan pelaksanaan swakelola yang akan dikerjakan, khusus untuk Ormas, memiliki pengalaman sejenis dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, bukan diberikan kepada Ormas dan Pokmas yang sama sekali baru dan tidak memiliki pengalaman teknis terkait.

Proses Pemilihan Ormas dan Pokmas Pelaksana Swakelola adalah sebagai berikut:

Pemilihan Ormas dapat dilakukan dengan dua cara, pertama, PA/KPA menyampaikan permintaan kesediaan kepada Ormas untuk melaksanakan Swakelola atau opsi kedua, melalui sayembara, apabila terdapat lebih dari satu Ormas yang dinilai mampu untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa melalui Swakelola Tipe III.

Tidak jauh berbeda dengan Pemilihan Ormas, Pemilihan Pokmas pun dapat dilakukan dengan dua cara, pertama, dilakukan secara top down, dimana PA/KPA menyampaikan undangan kepada Pokmas di lokasi pelaksanaan pekerjaan swakelola.

Jika Pokmas tersebut bersedia untuk melaksanakan pekerjaan swakelola, maka penanggung jawab Pokmas menyampaikan surat pernyataan kesediaan sebagai pelaksana swakelola dan selanjutnya PA/KPA bersama dengan penanggung jawab Pokmas membuat Nota Kesepahaman.

Kedua, dapat dilakukan secara bottom up, dimana PA/KPA menetapkan dan mengadakan Nota Kesepahaman dengan Pokmas sebagai pelaksana swakelola atas dasar usulan dari Pokmas yang akan melaksanakan swakelola dimaksud.

Sekian ulasan tentang Ormas dan Pokmas Pelaksana Swakelola, semoga bermanfaat.

Bagaimana merencanakan Pengadaan Barang/Jasa

Artikel ini merupakan ringkasan dari pemaparan pada link youtube berikut. Sahabat Pengadaan dapat mengikutinya pada link youtube di atas. Update: terkait perencanaan pengadaan berdasarkan Perpres 12 Tahun 2021, sahabat pengadaan dapat mengikutinya pada link berikut.

Perencanaan pengadaan adalah langkah pertama yang harus dilakukan sebelum memulai persiapan dan pelaksanaan pengadaan. Sebagaimana peribahasa yang mengatakan bahwa perjalanan 1000 mil dimulai dari 1 langkah kecil, demikian pula proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa dimulai dari langkah kecil pertama yaitu perencanaan pengadaan.

Para pihak yang terlibat dalam perencanaan pengadaan adalah: PA/KPA, PPK, Pj/PPHP, Penyelenggara Swakelola dan Tim Teknis. PPK dapat dibantu oleh Tim Pendukung dan Tenaga Ahli. Tugas dan kewenangan PA/KPA dalam perencanaan pengadaan adalah: menetapkan perencanaan pengadaan, menetapkan dan mengumumkan RUP dan melaksanakan konsolidasi pengadaan barang/jasa.

Ruang lingkup perencanaan pengadaan terdiri dari: penyusunan perencanaan pengadaan, identifikasi kebutuhan, penetapan barang/jasa, cara pengadaan barang/jasa, jadwal pengadaan barang/jasa, anggaran pengadaan barang/jasa dan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa.

Dalam menyusun anggaran pengadaan barang/jasa, sejumlah komponen dan sub komponen harga yang perlu diperhatikan antara lain:

Cara pengadaan dapat dilakukan melalui swakelola, maupun melalui penyedia. Dalam menyelenggarakan swakelola perlu memperhatikan sejumlah kriteria berikut:

Perencanaan pengadaan melalui penyedia perlu memperhatikan sejumlah aspek penting berikut:

Terkait dengan identifikasi kebutuhan, identifikasi kebutuhan sudah harus dilaksanakan pada saat year -1 (y-1). Selain itu perlu diperhatikan bahwa untuk pekerjaan konstruksi yang perencanaan, pekerjaan fisik dan pengawasannya pada tahun yang sama dan tahun tunggal, maka pekerjaan tersebut harus memenuhi kriteria dimana desain konstruksi yang diadakan bersifat standar, risiko kecil, tidak memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikan pekerjaan, dan tidak memerlukan penelitian yang mendalam melalui laboratorium yang membutuhkan waktu lama. Disamping itu, harus dipastikan meskipun pekerjaan konstruksi yang dilakukan sifatnya mendesak, namun biaya telah tersedia secara cukup.

Berikut adalah skenario ideal dan non ideal persiapan pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Pada contoh skenario ideal, diasumsikan pekerjaan perencanaan telah dilaksanakan di year -1

Pada skenario ideal di atas, apabila pekerjaan terlambat maka masih ada waktu untuk mengejar keterlambatan di bulan November dan Desember (tentunya disertai denda keterlambatan apabila penyedia diberikan pemberian kesempatan)

Sedangkan pada skenario non ideal, pemberian kesempatan melampaui tahun anggaran ke TA. 2022, maka harus PA/KPA harus memastikan bahwa anggaran untuk melanjutkan pekerjaan tersebut tersedia di Tahun Anggaran berikutnya.

Pemberian Kesempatan bisa lebih dari 50 hari sebagaimana diatur dalam PMK 243/2015.

Demikian artikel singkat ini, bagi sahabat pengadaan yang mau mengikuti lebih detail terkait materi pengadaan ini dapat mengikuti pada kanal youtube berikut.

Try Out Soal Ujian Pengadaan Barang/Jasa Tingkat Dasar berdasarkan Perpres 16/2018

Kali ini saya mencoba membantu sejumlah teman yang ingin mengikuti Ujian Pengadaan Barang/Jasa Tingkat Dasar. Semoga soal try out ini dapat membantu teman2 dalam menjawab pertanyaan seputar PBJ dengan baik. Soal-soal ini saya ambil dari bahan ajar/materi tryout LKPP terkait Perpres 16/2018 Tingkat Dasar.

Tips: Kerjakan dahulu soal yang bobotnya besar yaitu Soal Studi Kasus karena bobot nilainya 4, mulai dari nomor 81 sampai dengan 90, setelah itu kerjakan Soal Pilihan Ganda karena bobot nilainya 3, mulai dari nomor 26 sampai 80, sedangkan Soal Benar Salah dari nomor 1 sampai 25 memiliki bobot nilai 2.

Total nilai skor untuk 90 pertanyaan adalah 255, passing grade skor untuk seseorang dinyatakan lulus ujian PBJ Tingkat Dasar adalah 167.

Setelah di-submit, teman2 bisa view score untuk melihat total skor teman2 apakah melewati passing grade atau tidak dan juga teman2 dapat melihat feedback untuk mengetahui kesalahan teman2 untuk kemudian dapat diperbaiki untuk diisi dan di-submit kembali.

Jangan lupa juga untuk mengerjakan Contoh Soal latihan lainnya. Selamat mencoba, semoga berhasil.

Perlukah Pokja melakukan Koreksi Aritmatik pada Aplikasi SPSE 4.3

Dengan digunakannya aplikasi SPSE 4.3, kebanyakan Pokja yang saya temui mengatakan bahwa mereka tidak lagi melakukan Koreksi Aritmatik karena pada Aplikasi SPSE 4.3 koreksi aritmatik dilakukan by sistem. Dalam Peraturan LKPP No. 9/2018 dijelaskan bahwa “Untuk Kontrak Harga Satuan, item pekerjaan dengan harga satuan pada Kontrak Gabungan Lumsum dan Harga Satuan, dan Kontrak Waktu Penugasan dilakukan koreksi aritmatik. Koreksi aritmatik dilakukan secara otomatis menggunakan SPSE. Apabila terdapat kendala atau tidak dapat menggunakan SPSE, maka koreksi aritmatik dilakukan secara manual.”

Namun, saya dan sejumlah teman Pokja punya pengalaman yang sedikit berbeda dan unik (kejadian nyata namun nama paket, perusahaan dan nilainya disamarkan). Hal ini terjadi pada salah satu paket dengan nilai HPS Rp 1.876.163.788, dengan jumlah penawar yang masuk sebanyak 30 penawaran, namun setelah dilakukan evaluasi Pokja mendapati Penyedia rangking 7 (katakanlah CV A), rangking 8 (CV B) dan 9 (CV. C) lulus evaluasi administrasi, teknis, harga dan kualifikasi, sedangkan penawar rangking 10 sampai dengan 30 tidak dilakukan evaluasi lanjutan karena Pokja telah mendapatkan 3 Penawar terendah yang responsif dimana setelah evaluasi CV A menjadi rangking 1, CV B rangking 2 dan CV C rangking 3.

Ketiga penyedia tersebut diundang pembuktian kualifikasi, namun Direktur CV C (rangking 3) tidak dapat membuktikan pengalaman sejenis (divisi dan kelompok yang sama) yang dientri pada isian kualifikasi, sehingga dinyatakan gugur pembuktian kualifikasi.

Dengan demikian tinggal 2 peserta, CV. A dengan nilai penawaran Rp 825.721.947 dan CV. B dengan nilai penawaran Rp 853.622.000 sehingga harus dilakukan e-reverse auction dimana yang dikompetisikan adalah penawaran harga semata yang dapat dilakukan secara berulang sampai dengan waktu e-reverse auction selesai. Kami pun menghubungi kedua penyedia tersebut untuk bersiap mengikuti e-reverse auction.

Di saat e-reverse auction, CV. A (rangking 1) tiga kali memasukan penawaran harga, namun sayangnya nilai penawaran harganya lebih tinggi dari CV B yang hanya sekali memasukan harga penawaran namun menawar dengan harga lebih murah. Sehingga urut-urutannya setelah e-reverse auction menjadi terbalik dimana CV. B menjadi rangking 1 dengan nilai penawaran Rp 625.345.000 (33,33% HPS) dan CV. A rangking 2 Rp 782.751.718 (41,72% HPS).

Harga e-Reverse Auction Tidak Wajar

Khawatir dengan nilai penawaran e-reverse auction yang “tidak wajar” karena nilai penawaran jauh dari 80% HPS, maka Pokja melakukan koreksi aritmatik terhadap hasil e-reverse auction. Anehnya, setelah dikoreksi aritmatik, saya dan dua orang pokja lainnya yang melakukan koreksi secara terpisah pada kertas kerja excel di laptop masing-masing mendapati terjadinya kekeliruan penjumlahan pada aplikasi dimana penawaran CV. B dari sebelumnya Rp 625.345.000 (33,33% HPS) menjadi Rp 691.645.000 (36,86% HPS). Sedangkan penawaran harga CV. A tidak berubah (tetap) setelah dikoreksi aritmatik pada lembar kerja excel.

Perbedaan Antara Hasil Koreksi Aritmatik dan Harga pada Aplikasi

Untuk memitigasi risiko, maka Pokja kemudian membuat Berita Acara e-reverse Auction dan Berita Acara Hasil Tender manual yang kemudian diupload ke kolom/menu Berita Acara lainnya untuk menjelaskan telah terjadinya kekeliruan pada aplikasi karena terjadinya perbedaan sebagaimana diceritakan di atas.

Pokja merujuk pada Pasal 38 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada pasal 38 ayat 5 yang menyebutkan bahwa, “dalam hal terdapat perbedaan antara Keputusan dalam bentuk elektronis dan Keputusan dalam bentuk tertulis, yang berlaku adalah Keputusan dalam bentuk tertulis. Keputusan yang mengakibatkan pembebanan keuangan negara wajib dibuat dalam bentuk tertulis.”

Aturan di atas yang menjadi dasar kami sebagai Pokja melakukan tindakan tersebut. Ini juga dapat menjadi pelajaran agar kedepan Pokja perlu melakukan koreksi aritmatik kembali terhadap harga penawaran karena aplikasi SPSE 4.3 pun ternyata belum sepenuhnya sempurna.

Penyedia juga diharapkan lebih teliti lagi ketika mengentri penawaran harga, saran saya agar dibuat dulu dalam kertas kerja excel untuk kemudian di copy paste kedalam aplikasi, jika hasilnya sama maka tidak ada masalah, tetapi jika hasilnya berbeda maka tidak ada salahnya dokumen harga penawaran yang telah diberi catatan khusus dari kertas kerja excel juga ikut diupload dan dapat menggunakan ruang klarifikasi jika Pokja membuka ruang diadakan klarifikasi pada tahapan evaluasi harga. Demikian pengalaman singkat saya, semoga membantu rekan-rekan pokja lainnya.

Perlukah Pokja melakukan Klarifikasi/Verifikasi Lapangan dalam Pekerjaan Konstruksi?

Pertanyaan sebagaimana judul artikel di atas muncul di benak saya ketika saya diberitahu seorang teman bahwa semenjak diberlakukannya Permen PUPR 14/2020, Pokja tidak diperbolehkan melakukan klarifikasi lapangan.

Teman saya mendasarkan argumentasinya pada salah satu klausul dalam Standar Dokumen Pengadaan Permen PUPR 14/2020 yang menyatakan bahwa “Klarifikasi hanya dilakukan terhadap bukti-bukti kepemilikan peralatan, tidak terhadap fisik peralatan.”

Pada awalnya saya pun menyetujui pendapatnya, bahkan saya juga memberitahu teman-teman Pokja untuk tidak lagi melakukan klarifikasi lapangan. Namun, saya kemudian mencoba untuk memeriksa kembali apakah argumentasi tersebut sudah sesuai dengan aturan pengadaan barang/jasa.

Saya mulai membuka Peraturan LKPP No. 9/2018, meskipun aturan ini tidak dapat dijadikan rujukan untuk pekerjaan konstruksi, namun bagaimanapun aturan ini cukup terperinci mengatur prosedur pengadaan barang/jasa (non konstruksi), termasuk di dalamnya prosedur klarifikasi lapangan.

Dalam Peraturan LKPP 9/2018, pada klausul yang mengatur Pembuktian Kualifikasi disebutkan bahwa Pokja Pemilihan dapat melakukan verifikasi/klarifikasi kepada penerbit dokumen asli, kunjungan lapangan terhadap kebenaran lokasi (kantor, pabrik, gudang, dan/atau fasilitas lainnya), tenaga kerja, dan peralatan. Dengan demikian, Peraturan LKPP 9/2018 mengakomodasi ruang untuk dilakukan klarifikasi lapangan pada tahapan pembuktian kualifikasi.

Hal ini tampaknya kontradiktif dengan Permen PUPR 14/2020. Bagaimana mungkin prosedur pengadaan yang lebih “mudah” pada Pengadaan Barang/Jasa diperbolehkan melakukan verifikasi/klarifikasi lapangan, termasuk peralatan, sedangkan pada pekerjaan konstruksi yang “relatif lebih sulit” tidak diperbolehkan?

Saya pun kemudian memeriksa kembali SDP Permen PUPR dan mendapati bahwa klarifikasi lapangan dapat dilakukan sekurang-kurangnya pada dua tahapan, pertama pada tahapan evaluasi teknis (SDP angka 29.13) saat akan melakukan klarifikasi teknis khusus untuk persyaratan tambahan yang disyaratkan dalam SDP angka 29.13 huruf f, disebutkan bahwa “Pokja Pemilihan dapat melakukan klarifikasi, khususnya kepada pabrikan/produsen/ agen/distributor material/barang/bahan untuk menjamin konsistensi jenis material/barang/bahan serta kemampuan untuk menyediakan material sesuai jadwal yang telah ditetapkan;

Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit bahwa klarifikasi yang dimaksud di atas adalah klarifikasi on site karena Pokja pun memiliki opsi untuk melakukan klarifikasi melalui media surat, email, dan lain sebagainya, namun juga tidak ada larangan secara eksplisit bagi Pokja untuk melakukan klarifikasi lapangan kepada produsen/pabrikan/agen/distributor sebagaimana diatur dalam angka 29.13.

Kedua, pada tahapan pembuktian kualifikasi (SDP angka 31.10), dimana disebutkan bahwa “Pembuktian kualifikasi dapat dilakukan dengan klarifikasi/verifikasi lapangan apabila dibutuhkan.” Hal ini berarti, ruang untuk klarifikasi/verifikasi lapangan apabila dibutuhkan dapat dilakukan pada tahapan pembuktian kualifikasi.

Dengan demikian, saya berkesimpulan bahwa tidak dibutuhkannya klarifikasi fisik terhadap peralatan sebagaimana disyaratkan dalam SDP Permen PUPR 14/2020 tidak berarti melarang Pokja untuk melakukan klarifikasi/verifikasi lapangan. Apabila dibutuhkan Pokja dapat melakukan klarifikasi lapangan.

Klarifikasi fisik terhadap peralatan bisa jadi dianggap tidak perlu oleh perumus Permen PUPR 14/2020 karena Pokja cukup melihat bukti-bukti kepemilikan peralatan seperti invoice, BPKB, dan lain sebagainya atau bukti perjanjian sewa, bukan dukungan peralatan (apabila dilakukan sewa peralatan) dan bukti kepemilikan peralatan oleh pihak pemberi sewa. Karena itu, maka tidak perlu dilakukan klarifikasi terhadap fisik peralatan, sedangkan klarifikasi terhadap konsistensi jenis material, barang, bahan dan lainnya dan klarifikasi lapangan pada tahapan pembuktian kualifikasi terhadap syarat-syarat kualifikasi selain peralatan sepanjang dibutuhkan dapat dilakukan oleh Pokja Pemilihan.

Penggantian atau Perubahan Personel Manajerial/Personel Inti (Tenaga Ahli) pada Kontrak Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Konsultansi Konstruksi

Dalam Pekerjaan Konstruksi dan/atau jasa Konsultansi, Perubahan Kontrak dapat dilaksanakan apabila disetujui oleh para Pihak, yang diakibatkan beberapa hal berikut:

  1. perubahan pekerjaan;
  2. perubahan Harga Kontrak;
  3. perubahan jadwal pelaksanaan pekerjaan dan/atau Masa Pelaksanaan;
  4. perubahan personel manajerial dan/atau peralatan utama; dan/atau
  5. perubahan Kontrak yang disebabkan masalah administrasi.

Kali ini kita akan membahas poin nomor 4, khususnya pada frasa perubahan personel manajerial untuk pekerjaan konstruksi atau personel inti pada jasa konsultansi. Namun sebelumnya kita perlu tahu apa itu personel manajerial dan personel inti.

Personel Manajerial dan Personel Inti

Istilah Personel Manajerial digunakan untuk pekerjaan konstruksi, yang merujuk pada tenaga ahli atau tenaga teknis yang ditempatkan sesuai penugasan pada organisasi pelaksanaan pekerjaan. Sedangkan istilah Personel Inti, digunakan untuk jasa konsultansi, adalah orang yang akan ditempatkan secara penuh sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Dokumen Pemilihan serta posisinya dalam manajemen pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan organisasi pelaksanaan yang diajukan untuk melaksanakan pekerjaan. (Permen PU 14/2020).

Contoh Personel Manajerial pada Pekerjaan Konstruksi untuk segmentasi Usaha Kecil terdiri dari Pelaksana dan Ahli K3, untuk pekerjaan Kualifikasi Usaha Menengah dan Besar terdiri dari Manajer Pelaksanaan/Proyek, Manajer Teknik, Manajer Keuangan dan Ahli K3 Konstruksi.

Perubahan Personel Manajerial/Personel Inti

Sejumlah Penyedia yang menang pelaksanaan tender/seleksi seringkali melakukan perubahan/penggantian personel manajerial/inti yang telah mereka tawarkan di Dokumen Penawaran dengan begitu mudahnya bahkan pada saat dimulainya kontrak tanpa alasan yang kuat, misalnya karena personel dimaksud tidak available (tidak dapat didatangkan), dan PPK terkadang tanpa melakukan verifikasi yang memadai langsung menyetujui pergantian tersebut.

Penggantian/perubahan personel manajerial/inti seperti itu tentu tidak benar dan tidak adil. Tidak benar karena penggantian/perubahan personel manajerial/inti harusnya memenuhi kriteria:

  1. tidak mampu atau tidak dapat melakukan pekerjaan dengan baik;
  2. tidak menerapkan prosedur SMKK; dan/atau
  3. mengabaikan pekerjaan yang menjadi tugasnya;

Dua kriteria pertama di atas sangat jelas menunjukan bahwa penggantian personel manajerial/inti harus didasarkan pada alasan kinerja/performa, bukan pada alasan ketiadaan/absennya personel manajerial/inti pada saat pelaksanaan pekerjaan.

Satu-satunya kriteria yang mungkin “debatable” adalah kriteria ketiga yang menyebutkan personil dimaksud mengabaikan pekerjaan yang menjadi tugasnya. Frasa “mengabaikan” di sini yang mungkin dapat saja dianggap sebagian orang sebagai absen/tidak dapat didatangkan sama sekali, bahkan dimulai sejak hari pertama jadwal penugasannya sampai hari pergantian/perubahan personil dimana yang bersangkutan tidak pernah hadir sekalipun. Kondisi demikian pada akhirnya memimpin kita pada kesimpulan bahwa personil tersebut bisa saja tanpa sepengetahuan dan sepersetujuannya dimasukan sebagai personil manajerial/inti hanya untuk memenuhi persyaratan tender/seleksi.

Apabila terjadi sebagaimana hal tersebut di atas, dan sebagai tindak lanjut Penyedia dengan mudahnya mengusulkan pergantian personil dan PPK menyetujuinya tanpa melihat pengabaian tugas itu didasarkan karena alasan kinerja/performanya di lapangan. Dengan begitu, tidak ada signifikansinya sama sekali permintaan personil manajerial/inti dijadikan sebagai syarat tender/seleksi yang layak dipertandingkan pada “tempat pertama”.

Untuk apa dipersyaratkan, jika toh, pada saat pelaksanaan pekerjaan di lapangan dapat langsung dengan mudahnya diusulkan untuk diganti dengan personil yang memiliki kualifikasi yang setara atau lebih tinggi. Lebih-lebih untuk personil inti pada pekerjaan jasa konsultansi yang dalam penilaian teknis memiliki bobot yang cukup besar 50%-65% dari penilaian dokumen teknis dan telah dilakukan evaluasi oleh Pokja Pemilihan sesuai bobot penilaian dimaksud. Inilah alasan yang saya sebut sebagai tidak adil.

Tidak adil karena personel manajerial/inti yang ditawarkan Penyedia tersebut menjadi salah satu unsur penting penilaian Pokja Pemilihan dalam mengevaluasi dan menetapkan penyedia tersebut sebagai Pemenang Tender/Seleksi, namun pada waktu pelaksanaan pekerjaan di lapangan, personel manajerial/inti tersebut tidak available, terutama personel inti tenaga ahli yang mengerjakan pekerjaan dengan jenis kontrak waktu penugasan dimana jenis kontrak dimaksud menuntut kehadiran tenaga ahli sesuai jadwal pelaksanaan pekerjaan dan jadwal penugasannya.

Patut diduga ketidakhadiran personel Tenaga Ahli dimaksud sebagai bagian dari praktik jual beli Sertirfikat Keahlian (SKA) yang kerap terjadi dalam dunia pengadaan barang/jasa. Jual beli sertifikat ini telah menjadi “lingkaran setan” yang sulit diselesaikan, yang pada akhirnya membuat kompetisi tidak sehat dan dapat berimbas pada terhambatnya pekerjaan di lapangan.

Oleh karena itu, diharapkan pada waktu Rapat Persiapan Penunjukan Penyedia (pre-award meeting), PPK dapat memverifikasi kembali keaslian dan keberlakuan SKA personel manajerial/inti, dan pada waktu Rapat Persiapan Pelaksanaan Kontrak (pre-construction meeting) melihat kembali jadwal mobilisasi personel dan kesuaian personel dengan persyaratan kontrak dan pada waktu tahapan mobilisasi, harus dipastikan bahwa Penyedia wajib mendatangkan Personel manajerial/inti dan memastikan bahwa personel manajerial/inti bekerja sesuai dengan jadwal yang telah disepakati. Jika dalam pelaksanaan pekerjaan, personel manajerial/inti karena alasan kinerja/performa tidak dapat menjalankan tugasnya sebagaimana terpenuhi pada kriteria di atas, maka Pengguna Jasa meminta Penyedia untuk dapat segera melakukan penggantian personel manajerial/inti dengan kualifikasi setara atau lebih tinggi dalam waktu tujuh (7) hari kalender sejak diminta.

Standar Dokumen Pengadaan Menurut Permen PUPR No. 14 Tahun 2020

Standar Dokumen Pengadaan Menurut Permen PU No. 14 Tahun 2020 file word dapat didownload pada link berikut ini. Sedangkan untuk Model Dokumen Pemilihan Jasa Konstruksi berdasarkan Perpres 12/2021 dapat dilihat pada link berikut.

Berdasarkan paparan dari Direktur Bina Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, terdapat sejumlah perbedaan antara Permen PUPR 7/2019 dan Permen PUPR 14/2020, di antaranya:

  1. Jika sebelumnya Ruang Lingkup PPUPR 7/2019 hanya mengatur tender/seleksi di Lingkungan Kementerian PUPR, maka di PPUPR 14/2020 ruang lingkup sampai dengan Perangkat Daerah;
  2. Ruang Lingkup PPUPR 14/2020 juga sudah sangat lengkap karena mengatur Pengadaan langsung dan Pengadaan Jasa Konstruksi di Provinsi Papua dan Papua Barat;
  3. Segmentasi pemaketan pekerjaan konstruksi PPUR 14/2020 kembali seperti PPUPR 31/2015 dimana untuk nilai paket sampai dengan 2,5 Milyar diperuntukan untuk Usaha Kecil, di atas 2,5 Milyar s/d 50 Milyar untuk Usaha Menengah dan di atas 50 Milyar untuk Usaha Besar;
  4. Syarat Metode Pelaksanaan Pekerjaan hanya berlaku untuk pekerjaan yang bersifat kompleks dan/atau pekerjaan yang diperuntukan bagi kualifikasi Usaha Besar;
  5. Untuk Usaha Kecil, Personel Manajerial disyaratkan hanya dua, yaitu Pelaksana dan Ahli/Petugas K3 dan masing-masing hanya 1 orang per jabatan.

Demikian sejumlah hal-hal penting dalam PPUPR 14/2020. Untuk Standar Dokumen Pengadaannya dapat didownload di link gdrive.