Permasalahan terkait siapa yang berhak mewakili perusahaan dalam melakukan penawaran dan melakukan perikatan (penandatanganan kontrak) menjadi masalah menarik dalam dunia tender/seleksi pengadaan barang dan jasa.
Dalam Model Dokumen Pemilihan (MDP) Pengadaan Barang/Jasa disebutkan bahwa:
“Surat/form penawaran dan/atau surat/form lain sebagai bagian dari dokumen penawaran yang diunggah (upload) ke dalam SPSE dianggap sah sebagai dokumen elektronik dan telah ditandatangani secara elektronik oleh pimpinan/direktur perusahaan/pengurus koperasi, pihak lain yang mendapat kuasa atau pendelegasian wewenang yang sah dari pimpinan/direktur perusahaan atau kepala cabang perusahaan yang diangkat oleh kantor pusat yang dibuktikan dengan dokumen autentik atau pejabat yang menurut perjanjian kerja sama adalah yang berhak mewakili perusahaan yang bekerjasama.”
IKP Bab III angka 22.4 (non konstruksi) atau 25.9 (jasa konstruksi)
Terkait dengan kontrak dalam IKP Bab III angka 39.5 (non konstruksi) dan 44.9 (Jasa Konstruksi), disebutkan bahwa Pihak yang berwenang menandatangani kontrak atas nama penyedia adalah:
- direktur utama/pimpinan perusahaan/Pengurus Koperasi yang namanya tercantum dalam Akta Pendirian/Anggaran Dasar dan perubahannya (apabila ada) sesuai dengan peraturan perundang-undangan; atau
- pengurus/karyawan perusahaan yang berstatus sebagai tenaga kerja tetap yang mendapat kuasa atau pendelegasian wewenang yang sah dari direktur utama/pimpinan perusahaan/Pengurus Koperasi atau pihak yang sah berdasarkan Akta Pendirian/Anggaran Dasar dan perubahannya (apabila ada) sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk menandatangani Kontrak.
Masalahnya adalah pada sejumlah tender/seleksi dan penandatanganan kontrak, ditemukan bahwa pihak yang mewakili perusahaan, khususnya perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer atau lebih dikenal sebagai Commanditaire Vennotschaap (CV) adalah Pihak lain yang meskipun namanya ada di dalam akta pendirian/perubahan tetapi tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dalam mewakili CV.
Kebanyakan kasus yang terjadi adalah Pokja Pemilihan dan PPK dalam memahami ketentuan MDP hanya berhenti pada “pihak lain yang mendapat kuasa atau pendelegasian wewenang yang sah dari pimpinan/direktur perusahaan” atau “pimpinan perusahaan yang namanya tercantum dalam akta pendirian/anggaran dasar”. Padahal baik “pihak lain” dan “pimpinan perusahaan” tersebut juga harus memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terkait CV, baik Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Permenkumham Nomor 17 Tahun 2018 hanya memberikan hak/kewenangan tersebut kepada Sekutu Komplementer atau Sekutu Aktif, sedangkan Sekutu Komanditer atau Sekutu Pasif tidak dapat bertindak untuk dan atas nama CV.
Pada pasal 20 Kitab UU Hukum Dagang disebutkan:
” …….., maka nama persero komanditer tidak boleh digunakan dalam firma.
Persero ini tidak boleh melakukan tindakan pengurusan atau bekerja dalam perusahaan perseroan tersebut, biar berdasarkan pemberian kuasa sekalipun. Ia tidak ikut memikul kerugian lebih daripada jumlah uang yang telah dimasukkannya dalam perseroan atau yang harus dimasukkannya, tanpa
diwajibkan untuk mengembalikan keuntungan yang telah dinikmatinya.”
Lebih jauh dalam Permenkumham 17/2018 pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa ” Sekutu Komplementer adalah sekutu yang berhak bertindak untuk dan atas nama CV dan bertanggung jawab terhadap pihak ketiga secara tanggung renteng sampai harta kekayaan pribadi“
CV sendiri adalah persekutuan yang didirikan oleh satu atau lebih sekutu komanditer dengan
satu atau lebih sekutu komplementer (pasal 1 ayat 1 Permenkumham 17/2018). Dengan demikian sekutu komplementer dapat lebih dari satu orang, dan ada kemungkinan bahwa yang menandatangani penawaran maupun kontrak tersebut adalah salah satu orang dari sekutu komplementer yang merupakan pihak yang sah.
Namun, hal tersebut di atas tidak berlaku apabila yang melakukan penawaran, pembuktian kualifikasi dan penandatanganan kontrak adalah sekutu komanditer yang tidak diberikan hak/kewenangan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Permenkumham 17/2018. Lagipula, kerugian perusahaan ditanggung renteng oleh sekutu komplementer karena kekayaannya yang tidak dipisahkan dari perusahaan, sedangkan sekutu komanditer hanya bertanggungjawab sebesar uang/modal yang disertakannya dalam perusahaan, kecuali ia melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam pasal 21 Kitab UU Hukum Dagang.
Dengan demikian, maka perlu ketelitian Pokja Pemilihan dan PPK dalam memeriksa kembali kepengurusan pimpinan Perusahaan, khususnya yang berbentuk CV, baik pada waktu evaluasi penawaran, pembuktian kualifikasi dan pada saat penandatanganan kontrak. Apakah yang mengajukan surat penawaran, pembuktian kualifikasi dan yang akan menandatangani kontrak adalah persero/sekutu komplementer atau bukan? Lihat dengan cermat kedudukan dan kewenangan pihak/pimpinan perusahaan pada Akta Pendirian/Perubahan CV agar tidak terjadi masalah hukum di kemudian hari.
Oleh karena itu, hal ini kiranya perlu menjadi perhatian para perumus Pepres Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk memperjelas hak/kewenangan pimpinan perusahaan, khususnya CV yang telah diatur dalam Kitab UU Hukum Dagang dan Permenkumham 17/2018 karena selama ini dalam IKP Bab III tidak memberikan penjelasan yang memadai terkait hal ini. Dengan begitu, Pokja Pemilihan dan PPK memiliki kepastian hukum dalam mengambil tindakan untuk menggugurkan perusahaan dan/atau tidak melanjutkan kontrak dengan pihak-pihak yang tidak sah tersebut.
Salah seorang teman Pokja bertanya pada saya dimana ia mendapati kasus si Persero/Sekutu Komanditer sebagaimana tertera pada Akta Perubahan dan melampirkan Akta Kuasa bahwa yang bersangkutan hanya bertindak untuk dan atas nama CV pada saat memasukan penawaran, pemberian penjelasan, pembuktian kualifikasi, namun pada saat penandatanganan kontrak akan dilakukan oleh Sekutu/Persero Komplementer.
Menurut saya kasus di atas analog/setara dengan kasus PPTK yang melaksanakan tugas PPK sebagaimana saya jelaskan di artikel sebelumnya dalam hal pengelolaan APBD. Pada kondisi PPTK yang melaksanakan tugas PPK pada APBD, maka PPTK mewakili PPK dalam menyusun (bahkan pada umumnya sampai menetapkan) spesifikasi teknis, HPS, rancangan kontrak, dan lain-lain, namun pada saat penandatanganan perikatan/kontrak harus dilakukan oleh PA/KPA karena kewenangan/tugas dimaksud sifatnya atributif. Maka hal demikian pun, dapat diberlakukan pada kasus yang kita bahas di atas, dimana Persero/Sekutu Komanditer melakukan pemasukan penawaran dan pemberian penjelasan tetapi pada waktu penandatanganan kontrak, maka kewenangan tersebut hanya diberikan kepada Persero/Sekutu Komplementer pada pihak yang satu dan PA/KPA pada pihak lainnya.
Alternatif/opsi yang bisa saya tawarkan apabila persero/sekutu komanditer telah terlanjur memasukan penawaran, maka dilakukan klarifikasi oleh Pokja untuk kemudian meminta direktur/pengurus CV (sekutu komplementer) yang datang melakukan pembuktian kualifikasi dan apabila ditetapkan sebagai pemenang maka yang menandatanganani kontrak adalah sekutu komplementer. Apabila diperlukan pada saat pembuktian kualifikasi, Pokja juga dapat meminta Surat Pernyataan Pertanggungjawaban mutlak yang berisi materi antara lain bahwa penyedia tidak melakukan pengalihan pekerjaan kepada pihak lain yang tidak sah secara sesuai ketentuan perundang-undangan dan bertanggungjawab penuh sampai dengan selesainya pekerjaan (100%).